Begitu memasuki ruangan, dadaku sesak dan nafasku tercekat. Baru pertama kali aku merasakan sensasi seperti ini. Rasa haru mulai terasa dan Aku terus melangkah, tanpa mengkhawatirkan apa saja yang akan terjadi nanti. Aku melangkah ke depan dan berdiri menanti pasangan hidupku, Astri, yang masuk diantar oleh ayahnya, tanda penyerahan anaknya yang terkasih kepada calon suaminya untuk resmi dinikahkan oleh Gereja.
Tangannya meraih jasku dan menyematkan korsase di bagian dadaku. Lalu kuserahkan bunga tangan yang kupegang kepadanya. Tanda pernyataan bahwa dialah pasangan hidup yang kupilih. Kami berdua duduk di kursi pelaminan dan ibadah pernikahan kami pun dimulai.
Lagu Shout to The Lord membahana di ruangan tersebut. Begitu megah, dan begitu penuh dengan hadirat Tuhan. Aku berusaha menahan air mataku untuk tidak jatuh dan mengatur nafasku. Kuperhatikan Astri pun sesenggukan dan berusaha menyeka matanya berkali-kali. Prosesi pernikahan belum dimulai, namun kami sudah merasakan lawatan Tuhan hadir di tempat itu. Tidak pernah kusangka, hidupku yang dulu jauh dari Tuhan kini dapat menjalani momen pernikahan yang begitu kudus. Pikiranku melayang mengingat momen jadian kami.
2008 – Keputusan Kami untuk Menjalani Komitmen
Tiga tahun telah berlalu sejak kunyatakan cintaku kepadanya, bukan untuk yang pertama kalinya. Perjuanganku merebut hatinya dimulai dari 2005 dan aku selalu bertepuk sebelah tangan hingga hari itu, 14 November 2008, kami memutuskan untuk tidak berkomunikasi selama 40 hari dan berdoa sebelum memutuskan keseriusan hubungan kami. Aku tidak ingin main-main dengan keputusanku. Karena keputusanku hari itu akan menyangkut masa depan dari wanita yang kucintai. Aku tidak bermaksud mencari pacar, melainkan mencari seorang istri. Berpacaran denganku berarti mempersiapkan pernikahan bersama, untungnya Astri memiliki pandangan yang sama denganku pada saat itu. Malam itu kujemput dia dan kami memesan tempat di sebuah rumah makan daerah Margonda, Depok.
Seperti seorang sales, aku mempresentasikan isi dari buku catatanku, hasil doaku, berisi rencana kehidupanku bertahun-tahun ke depan. Kutunjukkan padanya bahwa aku memiliki keyakinan yang pasti akan masa depanku. Kapan aku hendak menikah, pekerjaan apa yang aku inginkan dan di mana aku ingin tinggal. Visi hidupku dan rencana untuk masa depan anak-anakku. Setiap wanita membutuhkan rasa aman. Kondisi keuanganku saat itu tidaklah baik, namun aku percaya bahwa rencana yang jelas dan doa yang terarah akan membawaku ke dalam rencana Tuhan yang terbaik. Dalam bahasa sederhananya, aku menyatakan kepadanya, jadilah istriku dan hiduplah bersamaku, masa depanmu akan aman bersamaku. Jawaban yang tidak kusangka, ia menerimaku! Entah karena kegigihanku (Baca:keras kepala) mengejarnya selama 3 tahun, atau karena kedekatan kami yang sudah menjadi sahabat sejak 2004. Aku belum pernah menyatakan cintaku pada wanita lain, Astri adalah kekasihku yang pertama dan tentunya telah menjadi yang terakhir.
Malam itu aku mengantarnya pulang dan kuminta restu dari orangtuanya untuk mengizinkan kami menjalin hubungan lebih serius sebagai seorang kekasih. Aku ingin menyatakan tanggung jawabku pada orangtuanya bahwa aku murni mengasihi Astri dan akan menjaganya. Malam itu kami berdua juga membuat kesepakatan pertama dalam hubungan kami. Tidak bersentuhan, dan berdoa bersama setiap malam. Komitmen ini kami ambil untuk menjaga agar hubungan kami dilandaskan kasih yang dari Tuhan, dan bukan dengan nafsu. Aku sadar, sebagai seorang pria, jangankan bergandengan tangan, menyentuh kulitnya pun membuatku bergetar dan ingin merasakan sentuhan lebih banyak lagi. Banyak anak muda jatuh dalam dosa percabulan karena batasan yang tidak disepakati. Aku ingin mengasihi Astri seperti seorang ayah yang menjaga anaknya. Menghormatinya sebagai seorang wanita yang kudus di hadapan Tuhan dan menjaganya dari ancaman hasratku sendiri sebagai seorang pria.
2009 – Mengikuti Bimbingan Pra-Nikah (BPN)
Komitmen kami terus berjalan, kami berdoa setiap malam melalui telepon dan seminggu sekali kami bertemu. Pada saat itu aku kerja di Cikarang, tinggal di Jakarta Barat, sedangkan Astri tinggal dan bekerja di Depok. Setiap hari Sabtu aku menaiki motorku dari Cikarang ke Depok dan pada hari Sabtu/Minggu aku kembali ke rumahku dan pelayanan gereja di Jakarta. Kami menyadari bahwa kami membutuhkan bimbingan. Persiapan pernikahan yang baik bukanlah sesuatu yang bisa dicoba-coba sendiri. Pernikahan bagi kami hanyalah sekali seumur hidup. Karena itu persiapannya harus dilakukan dengan serius. Kami mencari seorang mentor yang dapat mengarahkan kami untuk mempersiapkan pernikahan. Di situlah awal pertemuan kami dengan Kak Oktri dan Kak Siska, seorang pemimpin jemaat di Abbalove Depok. Kami resmi mengikuti program bimbingan pra-nikah (BPN) di Abbalove Depok untuk mempersiapkan pernikahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran.
Sejak saat itu, sebulan sekali kami bertemu dengan Kak Oktri dan Kak Siska untuk belajar prinsip-prinsip pernikahan melalui pengayoman. Kami mulai menetapkan tanggal pernikahan kami dan menjadikannya target untuk didoakan. Mulai 2010 kami mengikuti kelas BPN dan setiap hari Jumat malam aku berangkat ke Depok dari Cikarang untuk mengikuti kelas BPN. Sesekali aku menginap di rumah keluarga Astri, dan kembali pada keesokan harinya ke Jakarta. Melihat hal tersebut Kak Oktri menawarkan rumahnya untuk aku dapat bermalam sebelum kembali ke Jakarta. Hal ini berkaitan dengan komitmen kami untuk menghindari celah kekudusan dengan batasan. Sejak saat itu aku menginap di rumahnya setiap minggu dan melihat langsung bagaimana prinsip-prinsip kebenaran dipraktekkan dalam keluarga, dalam hubungan suami istri dan anak, bahwa hubungan pernikahan yang kudus adalah kunci dari keluarga yang dipenuhi dengan nilai kebenaran. Untuk mencapai pernikahan yang kudus, masa pra-nikah harus dijalani dengan prinsip kekudusan yang benar. Prinsip tabur tuai berlaku di sini. Apa yang kita alami sekarang ialah tuaian dari apa yang kita tabur sebelumnya. Apa yang kita tuai akan berkali-kali lipat besarnya dari apa yang kita tabur. Seperti menabur biji apel, pasti akan menuai lebih dari 1 buah apel. Karena itu taburlah yang baik mulai sekarang untuk menuai yang baik di masa mendatang.
Kelas BPN berjalan selama 9 bulan. Kami semakin bertumbuh dalam persiapan pernikahan kami. Kami mendapatkan nilai-nilai kekudusan, kesepakatan, keterbukaan, komunikasi dan kami mempraktekkannya dalam hubungan kami. Hubungan kami bukanlah tanpa konflik. Beberapa kali kami konflik hingga merepotkan mentor kami. Itulah keuntungan memiliki mentor. Ketika konflik kami cukup berat, kami merepotkan mereka untuk dapat bertemu dan menjadi penengah dalam hubungan kami. Dari pemikiran dan teladan mereka, kami belajar untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Di masa pernikahan kami, kami sudah mempelajari bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut.
Prinsip-prinsip Pra-Nikah
Dalam persiapan pernikahan kami, prinsip-prinsip kebenaran sangatlah penting. Kami berdoa agar mukjizat Tuhan terjadi pada pernikahan kami. Keluarga, teman-teman dan jemaat yang menghadiri pernikahan kami dapat merasakan hadirat Tuhan. Seperti kisah mukjizat di Kana, Yesus membuat mukjizat dalam sebuah pernikahan. Itu adalah mukjizat pertama Yesus di dunia, tanda bahwa Tuhan mencintai pernikahan. Pastinya pasangan yang menikah saat itu adalah pasangan yang berkenan di hati Tuhan. Karena itu kami pun mau membangun pernikahan yang kudus sebab tanpa kekudusan tidak ada seorang pun dapat melihat Tuhan. Istilah kudus adalah sesuatu yang lebih luas dari sekedar masalah seksual saja. Hubungan pernikahan yang kudus meliputi berbagai hal seperti tindakan penuh kasih, bukan amarah; rasa percaya, bukan cemburu; hati yang menerima apa adanya, bukan menuntut; melayani, bukan mengorbankan; mengampuni, bukan mendendam. Untuk mencapai standar tersebut, diperlukan berbagai nilai-nilai pra-nikah yang membantu kami untuk mencegah terjadinya celah dalam kekudusan.
Kami belajar untuk membuat kesepakatan dalam setiap aktivitas kami. Kesepakatan akan mencegah konflik, dan dapat pula menyelesaikan konflik. Penyebab dari konflik seringkali adalah masalah komunikasi. Pernikahan merupakan persatuan dari dua pribadi yang dibesarkan dengan budaya keluarga yang berbeda. Sehingga pola pikirku dan Astri berbeda. Dengan adanya kesepakatan, kami belajar untuk mengikuti kebutuhan pasangan dan menurunkan ego kami untuk dilayani. Kesepakatan yang kami miliki dimulai dari hal-hal kecil, kapan mengirim sms untuk memberi kabar, berdoa bersama setiap hari, bagaimana berkomunikasi dengan keluarga masing-masing, pengaturan keuangan kami, hingga persiapan teknis pernikahan seperti persiapan lamaran, pemberkatan dan resepsi. Kesepakatan-kesepakatan tersebut kami catat di sebuah buku dan kami setujui bersama untuk dijalankan. Bahkan setelah kami menikah, kesepakatan perlu terus dibangun, mulai dari posisi memencet odol, pengeluaran untuk makan dan transportasi setiap hari, perencanaan jumlah anak, aturan pengasuhan anak hingga pelayanan kami di gereja.
Kami berdua juga telah sepakat untuk menjalankan prinsip keterbukaan. Tidak ada yang rahasia di antara kami. Apapun password yang kumiliki, Astri mengetahuinya, begitupun sebaliknya. Tidak ada yang kami tutupi, dengan demikian rasa saling percaya di antara kami bertumbuh. Apapun pembicaraanku dengan teman-temanku, terutama wanita, Astri mengetahuinya. Bahkan permintaan konseling dari teman wanitaku kualihkan ke Astri, hingga sekarang mereka pun menjadi teman. Kami percaya apabila salah seorang dari pasangan masih menyembunyikan sesuatu, hal tersebut dapat menjadi celah dalam hubungan mereka berdua. Begitupun dalam hal keuangan, kami menyatukan rekening kami dan mengatur pengeluarannya bersama. Setiap penghasilanku diketahui oleh Astri dan demikian pula dengan penggunaannya. Dengan demikian tidak ada rasa curiga dari penggunaan penghasilanku. Aku dapat mempertanggungjawabkan setiap pengeluaran yang ada.
Kami pun mulai menabung untuk persiapan pernikahan kami, di sinilah perjuanganku dalam mempersiapkan pernikahan semakin berat. Berdasarkan hitungan manusia, jumlah penghasilan yang ditabung setiap bulan tidak dapat mencukupi kebutuhan pernikahan kami. Belum lagi kebutuhan setelah menikahnya. Oleh karena itu kami terus berdoa sepakat untuk berkat-berkat yang Tuhan berikan. Aku berdoa, Tuhan, apabila pernikahan ini memang rencana-Mu dan berkenan di hati-Mu, maka Engkaulah yang akan mencukupkan semua kebutuhan kami. Engkau tidak akan mempermalukan kami di hadapan manusia. Kami berkomitmen tidak mau menikah dengan uang pinjaman. Kami berencana untuk menikah dengan dana yang kami kumpulkan sendiri. Kami sudah mengalokasikan dana maksimum per-bulan yang dapat kami gunakan masing-masing. Apabila alokasi dana tersebut habis, bagaimanapun caranya kami harus bertahan hidup dengan sisa yang ada. Aku pun berjuang menahan seluruh pengeluaranku. Terkadang aku melewatkan sarapan, makan siang maupun malam pun seadanya saja di warteg. Bahkan aku pernah selama 1 minggu hanya makan malam nasi goreng tek-tek saja (Rp 6000/porsi) karena keuangan yang sudah pas-pasan. Hehe. Pada akhirnya, usaha kami dihargai oleh Tuhan, pada hari pernikahan kami, tabungan kami sangat mencukupi kebutuhan, bahkan berlebih. Tidak tahu darimana saja asalnya, berbagai berkat mengalir sepanjang persiapan pernikahan kami dan total kebutuhan kami terpenuhi.
Prosesi Pernikahan
Ibadah pernikahan dimulai dengan penyalaan lilin unity candle oleh kedua orangtua pengantin. Tanda bahwa setiap keluarga menyertui bersatunya kedua keluarga tersebut. Kemudian Kak Oktri dan Kak Siska memberikan kesaksian selama kami mengikuti bimbingan mereka, dilanjutkan dengan wejangan dari Pak Ho Kuen Wei, atasanku di kantor yang juga banyak memberi teladan dalam pertumbuhan rohaniku. Pada akhir dari proses pernikahan, mentorku di pria sejati anak muda Cikarang, Pak Rudi Wijaya juga turut memberikan wejangan untuk pernikahan kami. Wejangan dan kesaksian mereka sangat memberkati kami. Firman Tuhan dibawakan oleh Kak Budi Jonatan yang juga menjadi mentorku di komunitas pria sejati. Setelah itu dilanjutkan dengan pengucapan janji pernikahan.
Setelah janji pernikahan selesai kami ucapkan, dilanjutkan dengan pemakaian cincin dan doa berkat dari gembala pernikahan. Di momen ini aku sudah tak kuasa menahan air mataku. Selama didoakan air mataku mengalir deras tanpa dapat kumengerti kenapa. Aku percaya urapan Tuhan turun atasku untuk bisa menjadi suami yang berkenan di hati Tuhan. Setelah doa selesai, kami lanjutkan dengan perjamuan kudus sebelum pemotongan gelang dan wedding kiss. Supaya kiss nya rasa anggur. Haha j/k :p. Kami berniat untuk memuliakan Tuhan terlebih dahulu sebelum diberikan hak untuk mencium pasangan kami.
Berikutnya adalah prosesi pemotongan gelang. Gelang covenant kudapatkan dari camp pria sejati tahun 2008. Gelang tersebut adalah komitmenku untuk menjaga keperjakaan hingga hari pernikahan dan akan dipotong oleh calon istriku pada hari pernikahan. Sejak 2008 kupakai gelang tersebut dan hingga 2011, gelang karet tersebut sudah tidak dapat dilepas karena sudah mengeras. Aku menggunakan gelang tersebut setiap saat, baik mandi maupun berenang, kena air sehingga jadi mengkerut. Pastinya gelang tersebut menunjukkan betapa kuatnya komitmenku untuk menjaga keperjakaanku. Hehe. Momen pemotongan gelang itupun dapat terwujud dalam pernikahanku, dipotong oleh istriku, Astri.
Wedding kiss kami merupakan ciuman kami yang pertama sejak kami bertemu. Kami bahkan menulis di souvenir pernikahan kami, my first kiss is my wedding kiss. Statement ini bukanlah sekedar kata mutiara bagi kami, tapi sebuah visi. Sebuah visi yang kami persembahkan untuk kemuliaan Tuhan, untuk menunjukkan pada semua orang bahwa kekudusanmu berharga di mata Tuhan dan itu mungkin untuk dilakukan. Kami punya mimpi bahwa anak kami nanti, baik itu pria maupun wanita, akan menghargai kekudusan dan menjaga first kiss dengan pasangannya hingga hari pernikahan, dan mereka memiliki teladan yang pertama, yaitu orangtuanya.
Setelah kami diresmikan sebagai pasangan suami istri, kami berdua menyalakan unity candle di bagian tengah dan mematikan candle yang dinyalakan orangtua kami, tanda bahwa kedua keluarga tersebut telah bersatu. Acara dilanjutkan dengan ucapan terima kasih kepada kedua orangtua kami. Sungguh sulit merangkai semua memori momen rasa syukurku atas papa dan mamaku dalam beberapa kalimat saja. Untuk mulai mengucapkan kalimatpun, nafasku sudah tercekat dan air mataku kembali mengalir deras. Perlahan-lahan kuucapkan rasa terima kasihku pada papa untuk kegigihannya dalam membangun keluargaku dan pada mama untuk kasihnya sebagai ibu yang telah ia berikan padaku. Terima kasih papa dan mama yang telah membesarkanku hingga dewasa ini, setiap prinsip-prinsip kehidupan dan nilai-nilai keluarga yang baik pasti akan kuturunkan pada generasi berikutnya nanti. Selama ucapan terima kasih ini, sebagian besar jemaat yang hadir ikut menangis dan momen ini sangat memberkati keluarga besar kami sesuai dengan visi pernikahan kami. Bahkan hingga acara selesai dan dilanjutkan dengan foto dan salam-salaman bersama seluruh jemaat, masih ada keluarga yang menangis dan memeluk kami dengan erat sambil mengucapkan selamat.
Perjalanan Pernikahan
Kini tepat 1 tahun berlalu sejak momen penuh sukacita kami di tanggal 19 November 2011 tersebut. Orang mengatakan, pernikahan itu ibarat surga di dunia atau neraka di dunia. Aku dapat bersaksi bahwa pernikahanku bagaikan sebuah surga di dunia. Aku memiliki sebuah keluarga kecil yang penuh kasih dan sukacita. Kami memulai dan menutup hari dengan doa bersama dan keseharianku dipenuhi rasa rindu terhadap istriku, Astri. Kami juga diberkati seorang anak lelaki, yang diberi nama Ethan Light Kang. Anak yang penuh sukacita dan selalu dapat menyegarkan hati kami lewat senyumnya. Kami hanya tinggal bertiga dengan anak kami, setiap pekerjaan rumah kami lakukan dengan senang hati, saling berebut untuk melayani satu sama lain. Setiap pagi kumandikan anakku sebelum berangkat kerja sebab Astri sudah cukup lelah karena bangun secara berkala di malam hari untuk menyusui.
Hubungan kami tetap terjaga dengan prinsip-prinsip yang kami sepakati. Konflik pun dapat kami atasi sendiri dan hingga saat ini belum pernah ada konflik yang kurasa cukup berat untuk dihadapi. Saat ini kami turut melayani di program bimbingan pra nikah gereja untuk mengayomi pasangan baru yang sedang mempersiapkan pernikahan. Aku sangat bersyukur untuk masa 1 tahun pernikahan yang telah kulewati, penyertaan Tuhan terus ada di tengah keluarga kami dan kami memiliki visi untuk dapat menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling kami.
Istriku, aku sangat bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kita, dan menggenapi rencananya untuk menyatukan kita dalam pernikahan. Terima kasih untuk keputusanmu untuk mengutamakan Tuhan lebih dari segalanya sejak kita berkenalan. Lewat itu aku bertumbuh dan semakin diperlengkapi maksimal untuk menggenapi rencana Tuhan. Demikian pula dengan perhatian-perhatian yang kamu berikan sejak dulu, hal tersebut terus menguatkanku untuk tidak lemah dan tetap berjuang. Terima kasih untuk cintamu kepadaku yang kamu tunjukkan lewat berbagai perkataan dan tindakan. Setiap malam kamu menungguku pulang dari kantor dan sudah menyiapkan air panas untukku mandi. Sewaktu aku sibuk dan letih, kamu terus menyemangatiku, padahal aku tahu bahwa kamupun lelah dan sibuk di rumah. Terima kasih juga untuk tetap sabar dan menerimaku apa adanya dengan segala kekuranganku. Bersama kamu, aku melewati hari-hari indah dan penuh sukacita. Satu tahun pernikahan ini telah kita lewati dalam kasih karunia Tuhan. Masih ada berpuluh-puluh tahun lagi yang akan kita lewati. Jangan khawatir karena rencana Tuhan indah untuk pernikahan kita. Dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, aku akan selalu bersamamu.
ps: Thx all. Semoga kesaksian ini memberkati. Ini kesaksian dari sisi Astri: Aku mengasihimu, aku mencintaimu dan aku bahagia – http://on.fb.me/UT4GSK